Jumat, 30 Desember 2016

Sertifikat Seminar Nasional Dan Bedah Buku Dengan Tema "STRUKTUR FUNDAMENTAL PEDAGOGIK KRITIS PAULO FREIRE"


Aliran Filsafat Kontemporer-Marxisme



Sosialisme-Komunisme (Marxisme)
Teori Marxist dikemukakan oleh Karl Marx (1818-1883). Idea dasar daripada teori ini adalah penentangan terhadap adanya sistem hirarki kelas, karena ianya adalah penyebab yang paling utama didalam sosial problem dan ianya mesti diakhiri oleh revolusi proletariat (buruh). Dengan lain perkataan, boleh dijelaskan bahawa Marx mencoba mencari kesamarataan, yaitu kesamarataan antara kaum borjuis (golongan ekonomi kelas atas) dengan kaum buruh / pekerja (golongan ekonomi kelas rendah). Marx menganggap selama ini golongan pekerja atau kaum buruh telah ditindas oleh kaum elit, sehingga perlu diadakan sebuah evolusi secara drastis.
Pemikiran Marx tentang ide-ide sosialis, perjuangan masyarakat kelas bawah, terutama disebabkan karena ia lahir di tengah pertumbuhan industri yang berbasis kapitalis. Perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan jam kerja yang sangat panjang setiap hari , yang sifatnya paten dan dengan upah yang sangat minim. Upah yang sangat minim yang diperoleh para buruh, bahkan hanya cukup membiayai makan sehari. Marx melihat kelas sosial yang tercipta berdasarkan hubungan kerja yang terbangun antara para pemilik modal dan buruh sangat bertentangan dengan prinsip keadilan. Kelas sosial paling bawah yang terdiri atas kelompok buruh dan budak, sering diistilahkan dengan kaum ploretar. Adanya kelas sosial yang menciptakan hubungan yang tidak seimbang tersebut, membawanya pada pemikiran ekstrem, penghapusan kelas sosial.

Aliran Filsafat Kontemporer-Eksistensialisme



Eksistensi berasal dari kata eks yang berarti keluar dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto yang berarti berdiri atau menempatkan. Oleh karena itu eksistensi berarti manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada, (Hadiwijono, 1990: 148).
Menurut Surajiyo (2012:161) Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Umumnya kata eksistensi berarti keberadaan, tetapi di dalam filsafat eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai arti yang khusus yakni cara manusia berada di dalam dunia.
Eksistensialisme merupakan istilah pertama yang dirumuskan oleh ahli filsafat Jerman yaitu Martin Heidegger (1889-1976). Setelah selesai Perang Dunia Kedua, penulis-penulis Amerika (terutama wartawan) berbondong-bondong pergi menemui filosof eksistensialisme, misalnya mengunjungi filosof Jerman Martin Heidegger (1839) digubuknya yang terpencil di Pegunungan Alpe. Tatkala seorang filosof eksistensialisme, Jean Paul Sartre (lahir 1905), mengadakan perjalanan keliling Amerika, dia disebut oleh surat-surat kabar Amerika sebagai the King of Existentialism, (Tafsir, 2000: 217-218).
Menurut Rapar (1996: 116) Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang menolak pemutlakan akal budi dan menolak pemikiran-pemikiran abstrak murni. Eksistensialisme berupaya untuk memahami manusia yang berada di dalam dunia atau disebut juga suatu filsafat keberadaan, suatu filsafat pembenaran dan penerimaan dan suatu penolakan terhadap usaha rasionalisasi pemikiran yang abstrak tentang kebenaran.
Munculnya filsafat eksistensialisme ini dari 2 orang ahli filsafat Soeran Kierkegaard dan Neitzche. Kedua tokoh diatas muncul karena adanya perang dunia pertama dan situasi Eropa pada saat itu, sehingga mereka tampil untuk menjawab pandangan tentang manusia, (Hadiwijono, 1990: 127).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa ketika berbicara mengenai eksistensialisme tentunya berbicara hakekat manusia dan segala sesuatu yang berkenaan dengan dirinya seperti bakat, keinginan, kebutuhan, kewajiban yang harus dikerjakan oleh manusia yang sebagai khalifah dimuka bumi dengan kata lain adalah manusia mempunyai potensi yang harus dikebangkannya. Manusia sebagai makhluk social harus dapat bertoleransi untuk dapat menjalin kehidupan yang harmoni dengan sesamanya, orang-orang yang berada di sekitarnya. Hal ini menyebabkan manusia harus belajar untuk dapat menghormati keinginan orang lain yang berarti manusia harus bias menekan sifat egonya. Contoh eksistensialisme salah satunya yakni sangat berhubungan dengan pendidikan karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
Eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Adapun ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan eksistensialisme adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan keberadaannya di dalam lingkungan sosial), antropologi (berkaitan antar manusia dengan lingkungan budaya). Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan.
Namun, menjadi eksistensialis bukan selalu harus menjadi seorang yang lain dari pada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.
Tokoh-tokoh yang cukup aktif dalam pengembangan eksistensialisme adalah Soren Aabye Kierkegaard (1813 – 1855), Jean Paul Sartre (1905 – 1980), Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger.
1.      Soren Aabye Kierkegaard (1813 – 1855)
Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
2.    Jean Paul Sartre (1905 – 1980)
Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
3.    Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
4.    Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri.
5.    Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.

Sumber:
Surajiyo. 2012. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Tafsir, Ahmad. 2000. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Hadiwijono, Harun. 1990. Sari Sejarah Filsafat Barat II. Yogyakarta : Kanisius.

Aliran Filsafat Kontemporer-Fenomenologi



Menurut Salam (2008 : 204) fenomenologi adalah studi tentang Phenomenon. Kata ini berasal dari bahasa Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari kata ini timbul kata Pheinomenon berarti yang muncul dalam kesadaran manusia. Dalam fenomenologi, ditetapkan bahwa setiap gambaran pikir dalam pikiran sadar manusia, menunjukkan pada suatu hal keadaan yang disebut intentional (berdasarkan niat atau keinginan).
Sedangkan menurut Surajiyo (2012 : 162) kata fenomenologi berasal dari kata Yunani fenomenon, yaitu suatu yang tampak, yang terlihat karena bercahaya, yang didalam bahasa Indonesia disebut gejala. Sehingga fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena, atau gejala sesuatu yang menampakkan diri.
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran. Fenomenologi merupakan sebuah aliran yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang kemudian diterima oleh akal ( otak ) dalam bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat membuat manusia mampu berpikir secara kritis, (Khalilah, 2013).
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita lihat, rasa, dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami manusia, (Wattimena, 2009).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala (fenomena) apa saja yang nampak. Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisi terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Adapun gejala-gejala yang tampak berdasarkan kehidupan sehari-hari misalnya kejadian siang dan malam.
Filsafat Fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. Untuk mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi.
Para ahli tertentu mengartikan Fenomenologi sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan memaknakan sesuatu sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat.
Dalam pengertian suatu metode, Kant dan Husserl, mengatakan bahwa apa yang diamati hanyalah fenomena, bukan sumber gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap sesuatu yang diamati terdapat hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni. Tiga hal yang perlu disisihkan dari usaha menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:
a.    Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif,
b.    Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan hipotesis, serta
c.    Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional.
Setelah mengalami reduksi yang pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal, fenomena yang dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal yang mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan reduksi kedua yang disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita hadapi mampu mencapai inti atau esensi. Kedua reduksi tersebut adalah mutlak. Selain kedua reduksi tersebut terdapat reduksi ketiga dan yang berikutnya dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa pun, serta dalam usaha mencari kebenaran yang tertinggi.
Tokoh-tokoh yang cukup aktif dalam pengembangan Fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938), Max Scheller (1874-1928), Martin Heidegger (1889-1976).

Sumber:
Salam, Burhanuddin. 2008. Pengantar Filsafat. Jakarta : Bumi Aksara.
Surajiyo. 2012. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Khalilah,Stroyatul.2013.https://khalilahroyatul.wordpress.com/author/stroyatulkhalilah/page/3/. Diakses tanggal 30 Desember 2016