Kamis, 22 Desember 2016

Tokoh-tokoh Aliran Eksistensialisme



Eksistensialisme sebagai aliran filsafat dikenal pada abad ke -20. Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kierkegaard ( Denmark, 1833-1855 ), namun Jean Paul Sartre (1905-1980) yang mempopulerkan aliran ini. Selain dua tokoh di atas, masih banyak tokoh-tokoh dalam aliran ini. Berikut akan diuraikan para tokoh tersebut :
a.    Soren Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 – meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun) adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark.
Kierkegaard menentang keras pemikiran Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu “aku umum”, tetapi sebagai “aku individual”.
Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan. manusia selalu berkembang, berproses ke arah yang lebih baik. Kesadaran akan diri merupakan kata kunci, karena melalui kesadaran akan dirinya inilah manusia berproses ke arah yang lebih baik. Kesadaran akan diri muncul bila manusia memiliki kebebasan menentukan.
b.    Jean Paul Satrte
Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris dan meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ia dianggap yang mempopulerkan aliran eksistensialisme.
Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L’existence précède l’essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L’homme est condamné à être libre). Ia menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
c.    Martin Heidegger
Martin Heidegger (lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana 1928.
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka. Dengan kata lain, benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berada di luar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah dari manusia. Jadi, dunia ini bermakna karena manusia.
d.   Friedrich Nietzsche
Menurut Friedrich, manusia yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
e.    Nicholas Berdyaev
Berdyaev dilahirkan di Kiev dalam suatu keluarga militer aristokrat. Ia hidup sendirian di masa kanak-kanaknya di rumah, dan perpustakaan ayahnya memungkinkannya banyak membaca. Ia membaca karya-karya Hegel, Schopenhauer, dan Kant ketika usianya baru 14 tahun dan ia menguasai berbagai bahasa asing.
Filsafatnya dicirikan sebagai eksistensialis Kristen. Ia sangat memperhatikan kreativitas dan khususnya kemerdekaan dari segala sesuatu yang menghalangi kreativitas. Berdyaev adalah seorang Kristen yang saleh, namun ia sering kali kritis terhadap gereja yang mapan. Sebuah artikel pada 1913 mengecam Sinode Kudus dari Gereja Ortodoks Rusia menyebabkan ia dituduh menghujat, dan hukumannya adalah pembuangan ke Siberia seumur hidup. Perang Dunia dan Revolusi Bolshevik membuat ia tidak pernah diajukan ke pengadilan.

Sumber:
Achmad Dardiri. Aspek-aspek Filsafat dan Kaitannya Dengan Pendidikan.Majalah Ilmiah Fondasi Pendidikan, Volume 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar