Guru
pada dasarnya adalah sebuah sintesa dari kalimat “Digugu dan Ditiru”. Kata kata
penuh filosofi tentang ilmu hidup. Sudah selayaknyalah guru tak sekedar menjadi
penjembatan materi materi sekolahan. Namun lebih dari itu, guru lah orang tua
kedua bagi murid, dimana paling tidak seorang murid akan menghabiskan 4 jam
dalam sehari bersama sang guru di institusi pendidikan. Tak pelak, peran guru
bagi kehidupan masa depan sang anak juga signifikan. Dan itu menjadi bukti
nyata, bahwa filosofi guru bukan hanya sebagai katalisator ilmu ilmu bangku
sekolah, namun lebih dari itu, filosofi sang guru, adalah seorang kreator masa
depan, menanamkan idealisme, motivasi dan harapan untuk masa depan anak
didiknya.
Maksud dari digugu lan ditiru
adalah bahwa seorang guru harus bisa memenuhi 2 kata tersebut, yakni:
1. Digugu artinya bahwa perkataannya harus
bisa dijadikan panutan dan dapat dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban
tersebut baik yang berupa alasan-alasan maupun bukti-bukti yang logis dalam penyampaian
sesuatu terhadap siswanya maupun kepada masyarakat umum. Maka dari itu seorang
guru harus mempunyai kewibawaan juga wawasan yang cukup tinggi, sebab apapun
yang diucapkannya akan dianggap benar oleh murid-muridnya.
2.
Yang kedua, sosok seorang guru harus
bisa ditiru, baik tingkah lakunya, segala hal yang diucapkannya
(pengetahuannya), semangatnya, dan budi pekertinya harus bisa dijadikan
teladan. Sehingga dengan terpenuhinya kedua kata tersebut yaitu "digugu
lan ditiru" maka tujuan pendidikan niscaya akan dicapai dengan
baik.
Menurut
Richard Leblanc, pengajar di York University, Ontario, Kanada, ada 10 hal yang
mesti diperhatikan, supaya
bisa
menjadi guru yang baik sekaligus sebagai pemimpin yang baik. (Leblanc, 1998). Dalam hal ini, terdapat 3 hal sebagai filosofi
saya agar bisa menjadi guru dan pemimpin yang baik. Antara lain yaitu:
a. Cinta
Seorang
guru haruslah mempunyai rasa CINTA, baik cinta pada profesinya sebagai guru
maupun dalam pengajaran, dia harus mengajar penuh dengan rasa cinta pada
siswa-siswinya. Hal ini sejalan dengan Leblanc, yang mengatakan bahwa inti dari
pengajaran dan pendidikan adalah cinta. Dalam hal ini, bisa juga dikatakan,
bahwa cinta, di dalam pendidikan, lebih penting daripada penalaran rasional
semata. Karena di dalam cinta, ada niat yang dapat mendorong orang untuk
belajar, untuk membantu mereka menemukan sendiri pola belajar yang pas, untuk
menemukan diri mereka sendiri.
Seorang
guru pun harus mencintai ilmu pengetahuan yang akan diajarkannya kepada para
siswa, sehingga diharapkan dapat menular kepada para siswa agar dapat mencintai
ilmu pengetahuan tersebut dan terus-menerus mau belajar seumur hidupnya (Long
life education). Demikian juga ketika guru tersebut menjadi pemimpin di kelas
mata pelajarannya, dia tidak akan semena-mena terhadap siswanya tapi tetap
mengedepankan pengajaran de ngan cinta dan pengertian.
b. Memberikan Waktu
Leblanc
juga menegaskan, bahwa guru yang baik mencintai dan merawat murid-muridnya.
Untuk bisa menerapkan cinta tersebut, ia butuh memberikan waktu dan tenaganya,
bahkan lebih daripada yang dituntut darinya. “Menjadi guru yang baik”, demikian
tulisnya, “berarti memberikan waktu banyak yang tak pernah dihargai untuk
mengoreksi, membuat dan mengubah materi pengajaran, dan mempersiapkan bahan
untuk mengembangkan pengajaran.” Ia menyebutnya dengan kata yang amat bagus,
yakni thankless hours and efforts. Saya merasa hal ini sangat penting menjadi
filosofi seorang guru, agar kita tidak terlalu perhitungan dengan waktu
kepulangan jika memang siswa-siswi kita masih memerlukan bimbingan dalam
pembelajarannya.
c. Keseimbangan yang Kreatif
Guru
yang baik yang sekaligus menjadi pemimpin yang baik, sebaiknya memeliki
keseimbangan yang kreatif. Menurut Leblanc, guru yang baik adalah guru yang
mampu bersikap seimbang secara kreatif. Artinya, ia mampu membuat kurikulum
pengajaran yang baku sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dalam hal ini
ketentuan Diknas, tetapi dalam penerapan siap jika kurikulum tersebut berubah
sesuai dengan dinamika kelas, dan perkembangan ilmu yang ada. “Guru yang baik”,
haruslah dapat menjaga keseimbangan kreatif antara diktator yang otoriter di
satu sisi, dan seorang pendorong (pemotivasi) yang baik di sisi lain.”
Guru
pun dituntut untuk bisa kreatif dalam memilih metode dan media belajar agar
sesuai dan mudah dipahami oleh anak didiknya dalam Kegiatan Pembelajaran di
kelasnya. Guru pun harus mampu menularkan kreatifitas tersebut kepada para
siswanya agar mereka dapat menjadi siswa yang lebih kreatif dalam pembelajaran
maupun kegiatan sehar-hari.
sumbernya sintesa digugu dan ditiru darimana hehe
BalasHapus