1. Teori
konsistensi ( Consistency )
Teori ini merupakan suatu usah pengujian (test) atas arti kebenaran.
Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut
dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang
dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah
didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan
atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek,
pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu
tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di
dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering
dilakukan di dalam penelitian pendidikan khususunya di dalam bidang pengukuran
pendidikan. Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori
korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi
adalah pendalaman dankelanjutan yang teliti dan teori korespondensi. Teori
korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi
merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu
pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan
konsisten dengna pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan
demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas
pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima
kebenarannya.
Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan trut is
consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C
Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini.
Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang
digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan
idealis.
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh
Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah
dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan
dengan data terbaru yagn benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori
itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
2. Teori Korespondensi ( Corespondence )
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita
oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh
subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai
dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori korespodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa
kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian
antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang
dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran
dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur
yang perlu yaitu :
·
Statemaent (pernyataan)
·
Persesuaian (agreemant)
·
Situasi (situation)
·
Kenyataan (realitas)
·
Putusan (judgements)
Kebenaran adalah
fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini
dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan
lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh
Berrand Russel pada abad moderen.
Cara berfikir ilmiah
yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menuru
corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi
anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan
kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan
sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
Artinya anak harus
mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu.
Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam
kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak
sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi
tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku
harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek,
nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
3. Teori Pragmatisme
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik
sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka
akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada.
Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di
dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan
utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk
ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan
lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala
sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika
tidak, teori ini salah.
Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah
teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang
benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap
suatu pernyataan, teori atau dalil itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan
dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan
(utility) dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor
consequence). Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap,
kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/ hasil yang
memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
·
Sesuai dengan keinginan
dan tujuan
·
Sesuai dengan teruji
dengan suatu eksperimen
·
Ikut membantu dan
mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
Teori ini merupakan
sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya adalha Charles S.
Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).
Wiliam James misalnya
menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsikuensi, pada hasil
tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak di dalam ide
itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah
dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori
korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita
(teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam
program solving.
Sumber:
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar