1.
Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan
pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal
peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang
berbeda dengan progesivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan
terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin
tertentu. Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan kestabilan
dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21)
2. Ciri-Ciri Utama Aliran Esensialisme
Esensialisme yang berkembang pada zaman
Renaissance mempunyai tinjauan yang berbeda dengan progressivisme mengenai
pendidikan dan kebudayaan. Jika progressivisme menganggap pendidikan yang penuh
fleksibelitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan
doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang, maka
aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar
pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya
pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu
serta kurang stabil. Karenanya pendidikan haruslah diatas pijakan nilai yang
dapat mendatangkan kestabilan dan telah teruji oleh waktu, tahan lama dan
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi.
Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang
berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif, selama empat abad
belakangan ini, dengan perhitungan zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya
pandangan-pandangan Esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah
pada pertengahan kedua abad ke sembilan belas.
Idealisme dan Realisme adalah aliran-aliran filsafat yang membentuk corak
Esensialisme. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat
eklektik, artinya dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung
Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan sifat-sifat
utama masing-masing.
Realisme modern yang menjadi salah satu
eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia
fisik; sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain,
pandangan-pandangannya bersifat spiritual.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa
realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan(ide-ide). Di balik duni
fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta
adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan
kekuasaan Tuhan. Dengan menguji menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya,
manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.
Sedangkan, ciri-ciri filsafat pendidikan
esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley adalah sebagai berikut :
a.
Minat-minat yang
kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat
atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
b.
Pengawasan
pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita
yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies manusia.
c.
Oleh karena
kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka
menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut.
d.
Esensialisme
menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan
sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.
3. Prinsip-Prinsip Pendidikan Esensialisme
a. Sekolah harus
mempertahankan motede-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental.
b. Tujuan akhir pendidikan
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
c. Menghendaki pendidikan
yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam
kebudayaan. Nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui
sivilisasi dan telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai
perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada di dalam gudang di luar ke jiwa
peserta didik. Ini berarti bahwa peserta didik itu perlu dilatih agar mempunyai
kemampuan penyerapan yang tinggi (Imam Barnadib, 2002).
d. Tentang kurkulum,
idealisme memandang hendaklah berpangkal pada landasan ideal dan organisasi
yang kuat. Seperti halnya pandangan Herman Herman Harrell Horne, yang
digambarkan oleh Bogoslousky, bahwa kurikulum idealisme dapat digambarkan
sebuah rumah yang mempunyai empat bagian yakni:
1. Universum. Pengetahuan
yang merupakan latar belakang dari segala manifestasi hidup manusia. Di
antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal-asul tata surya dan
lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang
diperluas.
2. Sivilisasi. Karya yang
dihasilkan manusia sebagai akibat hidup bermasyarkat. Dengan sivilisasi manusia
mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhannya, dan
hidup aman dan sejahtera.
3. Kebudayaan. Karya manusia
yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran
dan penilaian mengenai lingkungan.
4. Kepribadian. Bagian yang
bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti ril yang tidak bertentangan dengan
kepribadian ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor
fisiologis, emosional, dan inntelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang
harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan yang ideal tersebut (Imam
Barnadib, 1982).
Sumber:
Joe Park, Selected Readings in the Philosophy, New York,
Macmillian Publishing Co, Inc. 1974
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Yayasan Peerbit FIP
IKIP, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar