Kamis, 22 Desember 2016

Pandangan Eksistensialisme tentang Pendidikan



Konsep pendidikan menurut eksistensialisme adalah pengembangan daya kreatif dalam diri anak-anak, bukan saja sebagai pribadi atau individu, tetapi anak adalah suatu realitas. Dengan demikian, pendidikan adalah sama dengan realitas itu sendiri. Setiap anak dilahirkan dengan sifat-sifat bawaan yang berasal “dari sana”, yaitu yang diwariskan dari khasanah seluruh ras manusia. Oleh karena itu, setiap anak dilahirkan dengan ciri khas, namun masih harus dikembangkan, yang merupakan suatu realitas besar. Apa arti perkembangan daya kreatif? Artinya adalah panggilan illahi bagi kehidupan yang bersembunyi dalam ketiadaan. 
Selanjutnya, Power (1982; 141-144) menjelaskan, bahwa pendidikan menurut eksistensialisme mempunyai dua tugas utama, yaitu pemenuhan tujuan-tujuan personal dan mengembangkan rasa kebebasan dan rasa tanggung jawab. Dalam pemenuhan tujuan-tujuan personal, sekolah harus berusaha memperkenalkan siswa kepada kehidupan. Mata pelajaran-mata pelajaran yang ada di sekolah hanyalah sebagai sarana untuk realisasi dari subyektivitas. Dalam realisasi ini dibutuhkan pula mengadopsi seperangkat nilai, yaitu suatu kaidah tingkahlaku yang sesuai dengan kehidupan personal. Nilai dapat bersumber dari pengalaman murni, atau dari warisan leluhur, atau bersumber dari hukum alam atau hukum supernatural. 
Dalam mengembangkan kebebasan dan rasa tanggung jawab, pendidikan memberikan kebebasan pada seseorang yang dalam posisi moralnya mampu memilih suatu nilai yang baik untuk dirinya dan baik untuk orang lain. Pendidikan yang baik ialah mempersiapkan seseorang agar memiliki kebebasan, dan pada saat yang sama menghargai kebebasan semua orang lainnya,“ I am responsible for my self and for all”. Berkenaan dengan hal tersebut, guru berfungsi sebagai penyampai misi kebebasan dan tanggung jawab lebih dari sekedar pengajar mata pelajaran-mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum. Dengan demikian kurikulum dirancang untuk menghasilkan manusia bebas bukan manusia budak. 
1.    Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri dan memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam  semua bentuk kehidupan.
Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
2.    Peran guru
Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, dimana mungkin guru pada hari ini, besok lusa menjadi murid(power 1982)
Para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka sukai : logika menunjukkan bahwa kebebasan memiliki aturan, dan rasa hormat akan kebebasan orang lain itu penting.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian guru membimbing siswa untuk mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relatif dengan melalui pertanyaan-pertanyaan.
3.    Peserta Didik
Aliran eksistensialisme memandang siswa sebagai makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihannya dan siswa dipandang sebagai makhluk yang utuh yaitu yang akal pikiran, rohani, dan jasmani yang semua itu merupakan kebulatan dan semua itu perlu dikembangkan melalui pendidikan. Dengan melaksanakan kebebasan pribadi, para siswa akan belajar dasar-dasar tanggung jawab pribadi dan sosial.
4.    Kurikulum
Aliran eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberi para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan introspeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajaran harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan.
Kurikulum yang diutamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan-aturan. Oleh karena itu, disekolah diajarkan pendidikan sosial, untuk mengajar “respek” (rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua.
5.    Metode
Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan dan karakter yang baik.
Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang mata pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
6.    Evaluasi
Eksistensialisme berpandangan bahwa eksistensi di atas dunia selalu terkait pada keputusan-keputusan individu, artinya, andaikan individu tidak mengambil suatu keputusan maka pastilah tidak ada yang terjadi. Individu sangat menentukan terhadap sesuatu yang baik, terutama sekali bagi kepentingan dirinya. Jadi menurut aliran ini manusia itu sendirilah yang dapat menentukan seseuatu itu baik atau buruk. Ungkapan dari aliran ini adalah “ Truth is subjectivity” atau kebenaran terletak pada pribadinya maka disebutlah baik, dan sebaliknya apabila keputusan itu tidak baik bagi pribadinya maka itulah yang buruk.

Sumber: Power, (1982; 145) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar