1.
Tokoh-tokoh Aliran Idealisme
a.
Plato (477 -347 Sb.M)
Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani
dan jiwa terletak di antara gambaran asli dengan bayangan dunia yang ditangkap
oleh panca indra. Dan pada dasarnya sesuatu itu dapat dipikirkan
oleh akal, dan yang berkaitan juga dengan ide atau gagasan. Mengenai kebenaran
tertinggi, dengan doktrin yang dikenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan
bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah
kebaikan.
Menurut Plato, kebaikan merupakan hakikat tertinggi dalam
mencari kebenaran. Tugas ide adalah memimpin
budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah
mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan
yang pasti, sehingga dapat menggunakannya sebagai
alat untuk mengukur, mengklarifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami
sehari-hari.
b.
Immanuel Kant (1724 -1804)
Ia menyebut
filsafatnya idealis transendental atau idealis kritis dimana paham ini
menyatakan bahwa isi pengalaman langsung yang kita peroleh tidak dianggap
sebagai miliknya sendiri melainkan ruang dan waktu adalah forum intuisi kita.
Dengan demikian, ruang dan waktu yang dimaksudkan adalah sesuatu yang dapat
membantu kita (manusia) untuk mengembangkan intuisi kita. Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak sebenarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui
indera. Akan tetapi, bila pengetahuan
itu datang dari luar melalui akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman. Dapat disimpulkan
bahwa filsafat idealis transendental menitik beratkan pada pemahaman tentang
sesuatu itu datang dari akal murni dan yang tidak bergantung pada sebuah
pengalaman.
c.
Pascal (1623-1662)
Kesimpulan dari pemikiran filsafat Pascal antara lain :
1.
Pengetahuan diperoleh melalaui dua jalan, pertama menggunakan akal dan
kedua menggunakan hati. Ketika akal dengan semua
perangkatnya tidak dapat lagi mencapai suatu aspek
maka hati lah yang akan berperan. Oleh karena itu, akal dan hati saling
berhubungan satu sama lain. Apabila salah satunya tidak berfungsi dengan baik,
maka dalam memperoleh suatu pengetahuan itu juga akan mengalami kendala.
2.
Manusia besar
karena pikirannya, namun ada hal yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia yaitu pikiran manusia itu
sendiri. Menurut Pascal manusia adalah makhluk yang rumit dan kaya akan variasi
serta mudah berubah. Untuk itu matematika, pikiran dan logika tidak akan mampu
dijadikan alat untuk memahami manusia. Menurutnya alat-alat tersebut hanya
mampu digunakan untuk memahami hal-hal yang bersifat bebas kontradiksi, yaitu
yang bersifat konsisten. Karena ketidak mampuan filsafat dan ilmu-ilmu lain
untuk memahami manusia, maka satu-satunya jalan memahami manusia adalah dengan
agama. Karena dengan agama, manusia akan lebih mampu menjangkau pikirannya
sendiri, yaitu dengan berusaha mencari kebenaran, walaupun bersifat abstrak.
Filsafat bisa melakukan apa saja, namun
hasilnya tidak akan pernah sempurna. Kesempurnaan itu terletak pada iman.
Sehebat apapun manusia berfikir ia tidak akan mendapatkan kepuasan karena
manusia mempunyai logika yang kemampuannya melebihi dari logika itu sendiri. Dalam mencari Tuhan
Pascal tidak menggunakan metafisika, karena selain bukan termasuk geometri tapi
juga metafisika tidak akan mampu. Maka solusinya ialah mengembalikan persoalan
keTuhanan pada jiwa. Filsafat bisa menjangkau segala hal, tetapi tidak bisa
secara sempurna. Karena setiap ilmu itu pasti ada kekurangannya, tidak
terkecuali filsafat.
d. J. G. Fichte (1762-1914 M.)
Ia adalah seorang filsuf jerman. Ia belajar teologi di Jena (1780-1788 M).
Pada tahun 1810-1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin.
Filsafatnya disebut “Wissenschaftslehre” (ajaran ilmu pengetahuan). Secara sederhana pemikiran Fichte: manusia memandang objek benda-benda dengan inderanya. Dalam
mengindra objek tersebut, manusia berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka
berjalanlah proses intelektualnya untuk membentuk dan mengabstraksikan objek
itu menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya.
Hal tersebut bisa dicontohkan seperti,
ketika kita melihat sebuah meja dengan mata kita, maka secara tidak langsung
akal (rasio) kita bisa menangkap bahwa bentuk meja itu seperti yang kita lihat
(berbentuk bulat, persegi panjang, dll). Dengan adanya anggapan itulah akhirnya
manusia bisa mewujudkan dalam bentuk yang nyata.
e. F. W. S. Schelling (1775-1854 M.)
Schelling telah matang menjadi
seorang filsuf disaat dia masih amat muda. Pada tahun 1798 M, dalam usia 23
tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas Jena. Dia adalah filsuf
Idealis Jerman yang telah meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan
idealisme Hegel.
Inti dari filsafat Schelling: yang mutlak atau rasio mutlak adalah
sebagai identitas murni atau indiferensi, dalam
arti tidak mengenal perbedaan antara yang subyektif dengan yang obyektif. Yang
mutlak menjelmakan diri dalam 2 potensi yaitu yang nyata (alam sebagai objek)
dan ideal (gambaran alam yang subyektif dari subyek). Yang mutlak sebagai
identitas mutlak menjadi sumber roh (subyek) dan alam (obyek) yang subyektif
dan obyektif, yang sadar dan tidak sadar. Tetapi yang mutlak itu sendiri
bukanlah roh dan bukan pula alam, bukan yang obyektif dan bukan pula yang
subyektif, sebab yang mutlak adalah identitas mutlak atau indiferensi mutlak.
Maksud dari
filsafat Schelling adalah, yang pasti dan bisa diterima akal adalah sebagai
identitas murni atau indiferensi, yaitu antara yang subjektif
dan objektif sama atau tidak ada perbedaan. Alam sebagai objek dan jiwa (roh
atau ide) sebagai subjek, keduanya saling berkaitan. Dengan demikian yang
mutlak itu tidak bisa dikatakan hanya alam saja atau jiwa saja, melainkan
antara keduanya.
f. G. W. F. Hegel (1770-1031 M.)
Ia belajar teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh
gelar Doktor. Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Ia
berusaha menghubungkan yang mutlak dengan yang tidak mutlak. Yang mutlak itu
roh atau jiwa, menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya.
Roh itu dalam intinya ide (berpikir).
Sumber:
Tafsir, Ahmad.2000. Filsafat Umum. Bandung. Rosda.
Ihsan , A.
Fuad.2010. Filsafat Ilmu.Jakarta. Rineka Cipta.
H.B. Hamdani Ali, M.A.M.Ed.1986. Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar