Eksistensi berasal dari kata eks yang berarti
keluar dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto yang
berarti berdiri atau menempatkan. Oleh karena itu eksistensi berarti manusia
berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa
dirinya ada, (Hadiwijono, 1990: 148).
Menurut Surajiyo (2012:161) Eksistensialisme adalah
filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi.
Umumnya kata eksistensi berarti keberadaan, tetapi di dalam filsafat
eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai arti yang khusus yakni cara
manusia berada di dalam dunia.
Eksistensialisme merupakan istilah pertama yang
dirumuskan oleh ahli filsafat Jerman yaitu Martin Heidegger (1889-1976).
Setelah selesai Perang Dunia Kedua, penulis-penulis Amerika (terutama wartawan)
berbondong-bondong pergi menemui filosof eksistensialisme, misalnya mengunjungi
filosof Jerman Martin Heidegger (1839) digubuknya yang terpencil di Pegunungan
Alpe. Tatkala seorang filosof eksistensialisme, Jean Paul Sartre (lahir 1905),
mengadakan perjalanan keliling Amerika, dia disebut oleh surat-surat kabar
Amerika sebagai the King of Existentialism, (Tafsir, 2000: 217-218).
Menurut Rapar (1996: 116) Eksistensialisme adalah
suatu filsafat yang menolak pemutlakan akal budi dan menolak
pemikiran-pemikiran abstrak murni. Eksistensialisme berupaya untuk memahami
manusia yang berada di dalam dunia atau disebut juga suatu filsafat keberadaan,
suatu filsafat pembenaran dan penerimaan dan suatu penolakan terhadap usaha
rasionalisasi pemikiran yang abstrak tentang kebenaran.
Munculnya filsafat eksistensialisme ini dari 2 orang
ahli filsafat Soeran Kierkegaard dan Neitzche. Kedua tokoh diatas muncul karena
adanya perang dunia pertama dan situasi Eropa pada saat itu, sehingga mereka
tampil untuk menjawab pandangan tentang manusia, (Hadiwijono, 1990: 127).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat
diketahui bahwa ketika berbicara mengenai eksistensialisme tentunya berbicara hakekat
manusia dan segala sesuatu yang berkenaan dengan dirinya seperti bakat,
keinginan, kebutuhan, kewajiban yang harus dikerjakan oleh manusia yang sebagai
khalifah dimuka bumi dengan kata lain adalah manusia mempunyai potensi yang
harus dikebangkannya. Manusia sebagai makhluk social harus dapat bertoleransi
untuk dapat menjalin kehidupan yang harmoni dengan sesamanya, orang-orang yang
berada di sekitarnya. Hal ini menyebabkan manusia harus belajar untuk dapat
menghormati keinginan orang lain yang berarti manusia harus bias menekan sifat
egonya. Contoh eksistensialisme salah satunya yakni sangat berhubungan dengan
pendidikan karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia
sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
Eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang
tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya
manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana
cara menempatkan dirinya. Adapun ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan
eksistensialisme adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia seperti
sosiologi (berkaitan dengan manusia dan keberadaannya di dalam lingkungan
sosial), antropologi (berkaitan antar manusia dengan lingkungan budaya).
Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu
dihadirkan lewat kebebasan.
Namun, menjadi eksistensialis bukan selalu harus
menjadi seorang yang lain dari pada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia
merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat
sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme.
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung
jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.
Tokoh-tokoh yang cukup aktif dalam pengembangan eksistensialisme adalah Soren
Aabye Kierkegaard (1813 – 1855), Jean
Paul Sartre (1905 – 1980), Friedrich
Nietzsche, Karl
Jaspers, Martin Heidegger.
1. Soren Aabye Kierkegaard (1813 – 1855)
Inti
pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis
tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju
suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi
ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan
atau apa yang ia anggap kemungkinan.
2. Jean Paul Sartre (1905 – 1980)
Menekankan
pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk
menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah
makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
3. Friedrich Nietzsche
Menurutnya
manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk
berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia
super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan
kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita
orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
4. Karl Jaspers
Memandang
filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi
semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri.
5. Martin Heidegger
Inti
pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala
sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri,
dan benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan
dengan manusia karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan
manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
Sumber:
Surajiyo. 2012. Ilmu Filsafat
Suatu Pengantar. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Tafsir,
Ahmad. 2000. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Hadiwijono, Harun. 1990. Sari Sejarah Filsafat Barat II.
Yogyakarta : Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar