Nasi
tumpeng, atau yang banyak dikenal sebagai ‘tumpeng’ saja merupakan salah satu
warisan kebudayaan yang sampai saat ini masih dipercaya untuk dihadirkan dalam
perayaan baik yang sifatnya simbolis maupun ritual. Tumpeng sudah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya
ketika memperingati momen dan peristiwa penting. Tempat dihadirkannya tumpeng
ini pun di desa-desa maupun di kota-kota besar. Dimulai dari masyarakat di
pulau Jawa, Madura dan Bali, kini penggunaan tumpeng sudah menyebar ke bagian
pelosok nusantara lainnya bahkan ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura
bahkan Belanda. (dikenal dengan nama rijstafel). Meskipun diyakini berasal dari
Pulau Jawa, masyarakat seluruh Indonesia sudah memaklumi dan mengenalnya dengan
baik. Di balik tradisi tumpeng yang biasa dipakai dalam acara ‘selametan’,
terdapat nilai-nilai yang sifatnya filosofis. Tumpeng mengandung makna-makna
mendalam yang mengangkat hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan alam dan
dengan sesama manusia.
Sayangnya
penyebaran tumpeng yang begitu pesat dan meluas tidak dibarengi dengan makna
filosofis yang terkandung didalamnya. Bagaikan kotak hadiah yang tampak
cantik dari luar namun orang lupa menaruh hadiah di dalamnya, maka berapapun
cantik kotak hadiah tersebut, tidak akan punya arti apa-apa. Analogi inilah
yang kira-kira terjadi pada tumpeng. Banyak orang yang tahu apa itu tumpeng
tetapi tidak tahu artinya.
Padahal
apabila dilihat dengan seksama, tumpeng ini sarat dengan makna sehingga apabila
makna tersebut dipahami dan diresapi maka setiap kali tumpeng hadir dalam
setiap upacara, manusia diingatkan lagi akan kekuasaan Sang Pencipta Alam,
pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan mempelajari nilai nilai hidup
darinya serta mempertahankan asas gotong royong, urip tulung tinulung dan
nandur kebecikan, males budi yang menjadi dasar kerukunan dan keharmonisan
hidup bermasyarakat.
TUMPENG
Tumpeng
adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut; karena
itu disebut pula ‘nasi tumpeng’. Olahan nasi yang dipakai umumnya berupa nasi
kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara
penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa dan biasanya
dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun
demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum. Tumpeng biasa
disajikan di atas tampah (wadah bundar tradisional dari anyaman bambu) dan di
daun pisang batu.
Falsafah
tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa,
yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba
masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para
hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan
dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut
dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam
dewa-dewi.
Meskipun
tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi
tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa,
dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa.
Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng
disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al Quran. Menurut tradisi Islam
Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng
(bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan
lagi namanya “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing
kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh). Sedangkan lauk-pauknya
tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan
(pertolongan).
Tiga kalimat
akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80: “Ya Tuhan,
masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan
sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang
memberikan pertolongan”.
Menurut
beberapa ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar
dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan
menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha
Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan,
serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita
dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
MEMAKNAI
TUMPENG
Hubungannya
dengan Agama dan Ketuhanan Bentuk tumpeng yang berupa kerucut dan mempunyai
satu titik pusat pada puncaknya dipercaya melambangkan Gunung Mahameru yang
merupakan konsep alam semesta dan berasal dari agama Hindu dan Buddha. Asal
muasal bentuk tumpeng ini ada dalam mitologi Hindu, di epos Mahabarata. Gunung,
dalam kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya amat dihormati. Dalam
Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta
atau air kehidupan. Yang meminum air itu akan mendapat mendapat keselamatan.
Inilah yang menjadi dasar penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan.
Selain itu gunung bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi dari
sistem kosmos (alam raya). Jika dikaitkan dengan bagian puncak tumpeng, maka
ini melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Ini menjelaskan bahwa
acara-acara selamatan dimana tumpeng digunakan selalu dikaitkan dengan wujud
syukur, persembahan, penyembahan dan doa kepada Tuhan.
Selain
pengaruh dari agama Hindu, bentuk tumpeng ini juga dipengaruhi oleh agama atau
kepercayaan masyakarat Jawa yang dikenal dengan nama kejawen. Masyarakat Jawa
sendiri sebenarnya lebih menganggap kejawen sebagai seperangkat cara pandang
dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (perilaku). Ajaran kejawen
biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat seperti aturan-aturan agama pada
umumnya, tetapi menekankan pada konsep “keseimbangan”. Praktek ajaran ini
biasanya melibatkan benda-benda tertentu yang memiliki arti simbolik.
Gunung
berarti tempat yang sangat sakral oleh masyarakat Jawa, karena memiliki kaitan
yang erat dengan langit dan surga. Bentuk tumpeng bermakna menempatkan Tuhan
pada posisi puncak yang menguasai alam. Bentuk kerucut gunungan (méru) ini juga
melambangkan sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang
berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan. Sebagian besar
upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan Jawa adalah bagian dari ritual
kejawen sehingga tentu saja pengadaan tumpeng dan posisinya yang penting dalam
sebuah upacara sangat berkaitan erat dengan makna simbolis yang terkandung
dalam tumpeng itu.
Kembali ke
masalah nasi tumpeng, dari bentuknya sudah tampak menyerupai gunung. Nasi
tumpeng atau Tumpengan hanya ada dalam perayaan-perayaan tertentu. Ini adalah
warisan budaya nenek moyang. Suatu perayaan yang dianggap suci tentu memerlukan
simbol-simbol suci yang dapat mewakili makna dari apa yang tengah dirayakan.
Selain dari
bentuk, kita juga bisa menginterpretasikan makna dibalik warna nasi tumpeng.
Ada dua warna dominan nasi tumpeng yaitu putih dan kuning. Bila kita kembali
pada pengaruh ajaran Hindu yang masih sangat kental di Jawa, warna putih
diasosiasikan dengan Indra, Dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan
yang cahayanya berwarna putih. Selain itu warna putih di banyak agama
melambangkan kesucian. Warna kuning melambangkan rezeki, kelimpahan,
kemakmuran. Melihat hubungan antara makna dibalik bentuk tumpeng dan warna nasi
tumpeng, keseluruhan makna dari tumpeng ini adalah pengakuan akan adanya kuasa
yang lebih besar dari manusia (Tuhan), yang menguasai alam dan aspek kehidupan
manusia, yang menentukan awal dan akhir, Wujud nyata dari pengakuan ini adalah
sikap penyembahan terhadap Sang Kuasa dimana rasa syukur, pengharapan dan doa
dilayangkan kepadaNya supaya hidup semakin baik, menanjak naik dan tinggi
seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu sendiri. Jadi tumpeng mengandung
makna religius yang dalam sehingga kehadirannya menjadi sakral dalam
upacara-upacara syukuran atau selamatan.
Berikut ini
adalah contoh-contoh jenis-jenis tumpeng yang membawa pengharapan atau doa
tertentu kepada Sang Kuasa:
1.
Tumpeng Dlupak – yang puncak
tumpengnya dibuat cekung (seperti posisi tangan ketika berdoa) bermakna agar
keinginan dan harapan si empunya hajat dikabulkan.
2.
Tumpeng Punar – digunakan agar
kehidupan keluarga cerah, seperti menyambut kehadiran anak.
3.
Tumpeng Kendhit – dipakai saat
pemilik hajat memohon jalan keluar dari gangguan, kesulitan hidup, dan
keselamatan dari ancaman roh jahat.
4.
Tumpeng Among-among – bermakna
untuk minta perlindungan pada Tuhan untuk keselamatan anak cucu.
5.
Tumpeng Robyong - Tumpeng ini biasa
disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini
diletakkan di dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian puncak
tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai. Tumpeng
robyong sering dpakai sebagai sarana upacara selametan (tasyakuran). Tumpeng
robyong merupakan simbol keselamatan, kesuburan, dan kesejahteraan. Tumpeng
yang menyerupai Gunung menggambarkan kemakmuran sejati. Tumpeng Robyong dibuat
agar si pemohon selalu diobyong-obyong atau dikelilingi sanak saudara tercinta.
6.
Tumpeng Nujuh Bulan - Tumpeng ini
digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi
putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah
tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang
batu.
7.
Tumpeng Pungkur - digunakan pada
saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi
putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong
vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
8.
Tumpeng Nasi Putih - warna putih
pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara
sakral.
9.
Tumpeng Nasi Kuning - warna kuning
menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran
acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
10.
Tumpeng Nasi Uduk - Disebut juga
tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
11.
Tumpeng Seremonial/Modifikasi
Tumpeng merupakan
bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah
wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya
hasil panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan,
hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam
perayaan pesta ulang tahun.
Dalam
kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis
menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling
penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di
antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat
kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk
bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan
rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan
kerukunan.
Acara yang
melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai ‘tumpengan’. Di Yogyakarta
misalnya, berkembang tradisi ‘tumpengan’ pada malam sebelum tanggal 17 Agustus,
Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara.
Pada jaman
dahulu, sesepuh yang memimpin doa selametan biasanya akan menguraikan terlebih
dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin
yang dating tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran
hidup serta nasehat. Dalam selametan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan
diserahkan untuk orang tua atau yang ‘dituakan’ sebagai penghormatan. Setelah itu
nasi tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan
rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai
kebersamaan dan kerukunan.
Hubungannya
dengan Alam
Kehidupan
orang Jawa sangat lekat dengan alam. Mereka sadar bahwa hidup mereka bergantung
dari alam. Banyak pelajaran yang menjadi pedoman hidup sehari-hari yang mereka
ambil dari alam (Ch dan Sudarsono, 2008). Penempatan dan pemilihan lauk pauk
dalam tumpeng juga didasari akan pengetahuan dan hubungan mereka dengan alam.
Nasi tumpeng
yang berbentuk kerucut ditempatkan di tengah-tengah dan bermacam-macam lauk
pauk disusun di sekeliling kerucut tersebut. Penempatan nasi dan lauk pauk
seperti ini disimbolkan sebagai gunung dan tanah yang subur di sekelilingnya.
Tanah di sekeliling gunung dipenuhi dengan berbagai macam lauk pauk yang
menandakan lauk pauk itu semuanya berasal dari alam, hasil tanah. Tanah menjadi
simbol kesejahteraan yang hakiki.
Tidak ada
lauk-pauk baku untuk menyertai nasi tumpeng. Namun demikian, beberapa lauk yang
biasa menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur dadar/telur
goreng, timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya melibatkan
tempe kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan sebagainya.
Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa lauk-pauk yang
digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut (ikan lele,
ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam atau kacang
panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional dalam budaya Jawa dan
Bali. Lomba merias tumpeng cukup sering dilakukan, khususnya di kota-kota di
Jawa Tengah dan Yogyakarta, untuk memeriahkan Hari Proklamasi Kemerdekaan.
Kebanyakan
penghasilan orang Jawa diperoleh dengan bercocok tanam. Dengan banyaknya gunung
yang terdapat di pulau Jawa dan jenis tanah vulkanik yang subur dan ideal untuk
bercocok tanam, banyak orang Jawa yang tinggal disekitar daerah gunung dimana
mereka menanam padi, sayur-sayuran, buah-buahan dan memelihara ternak seperti
ayam, bebek, kambing, domba, sapi atau kerbau. Jadi hampir seluruh kebutuhan
hidup mereka didapatkan dari tanah di sekitar gunung. Oleh karena itulah
lauk-pauk ditempatkan di sekeliling nasi karena memang dari sanalah mereka
berasal (tanah di sekitar gunung).
Selain
penempatannya, pemilihan lauk juga didasari oleh kebijaksanaan yang didapat
dari belajar dari alam. Tumpeng merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut
nasi yang menjulang tinggi melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Pencipta alam
beserta isinya, sedangkan aneka lauk pauk dan sayuran merupakan simbol dari isi
alam ini. Oleh karena itu pemilihan lauk pauk di dalam tumpeng biasanya
mewakili semua yang ada di alam ini (Shahab, 2006). Bila kita kembali sejenak
pada pembahasan tentang agama dan kepercayaan, dalam kepercayaan Hindu-Jawa
alam terdiri dari alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia. Di
sini, alam tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan, misalnya kacang
panjang dan sayur kangkung. Alam fauna dapat berasal dari dua unsur: darat dan
air, dan diwujudkan melalui daging hewan seperti ayam, kambing, sapi dan jenis
jenis ikan. Adapun alam manusia diwujudkan dalam bentuk keseluruhan nasi
tumpeng itu sendiri, yaitu makhluk yang bergantung pada tuhan dan alam.
Pada jaman
dahulu, tumpeng selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan lauk pauk
dalam tumpeng mempunyai arti simbolik yang berbeda-beda.
a.
Nasi putih: berbentuk gunungan atau
kerucut yang melambangkan tangan yang merapat menyembah tuhan. Nasi putih juga
melambangkan bahwa segala sesuatu yang kita makan menjadi darah dan daging
haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuknya yang berupa
gunungan juga dapat diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita
semakin “naik” dan “tinggi”.
b.
Ayam: ayam jago atau jantan yang
dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi kaldu santan yang
kental merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati
yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan
sabar (nge’reh’ rasa). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari
sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh ayam jago, diantaranya adalah sombong,
congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok),
tidak setia, dan tidak perhatian dengan anak istri.
c.
Hidangan laut. Dari lauk pauk wakil
dari alam fauna, sepertinya lauk yang mewakili unsur air yang banyak mengandung
makna yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Ikan sudah bisa dipastikan mewakili
hewan air. Dalam tumpeng modern, menu ikan sering digantikan dengan udang. Ada
tiga jenis ikan yang bisa dipakai untuk melengkapi jenis lauk-pauk yang
terdapat di dalam tumpeng:
·
Ikan Lele: ikan lele tahan hidup di
air yang tidak mengalir dan terdapat di dasar sungai. Menghadirkan ikan lele
sebagai lauk dalam tumpeng merupaka simbol ketabahan, keuletan dalam hidup,
serta sanggup bertahan hidup dalam situasi ekonomi paling bawah sekalipun.
Kebiasaan hidup lele juga diharapkan akan diterapkan dalam kehidupan karier
manusia, yakni agar tidak sungkan meniti karier dari bawah.
·
Ikan Bandeng: Ikan bandeng terkenal
dengan duri-duri halusnya yang jumlahnya seperti tidak terbatas. Hampir setiap
gigitan, hampir bisa dipastikan ada duri di dalamnya. Melalui hidangan ini
orang berharap setiap saat bisa mendapat rezeki dan jumlahnya selalu banyak
atau bertambah seperti duri ikan bandeng.
·
Ikan Teri/Gereh Pethek: ikan ini
dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan teri ukurannya sangat
kecil dan mudah menjadi santapan ikan yang leih besar apabila ia berenang
sendirian. Oleh karena itu ikan teri hidupnya selalu bergerombol. Ini
mengingatkan manusia bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri. Mereka adalah
makhluk yang lemah dan membutuhkan bantuan orang lain untuk hidup. Dengan
demikian, ikan teri melambangkan kerukunan dan kerjasama yang harus dibina
sesama manusia.
d.
Telur: telur direbus pindang, bukan
didadar atau di-mata sapi, namun harus disajikan utuh dengan kulitnya (tidak
dipotong). Untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut (kulit
telur, putih telur, dan kuning telur) melambangkan bahwa semua tindakan yang
kita lakukan harus direncanakan(dikupas), dikerjakan sesuai dengan rencana dan
dievaluasi hasilnya demi tercapainya kesempurnaan.
Piwulang
Jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis, dan Tatas”, yang berarti etos kerja yang
baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan, dan diselesaikan
dengan tuntas. Telur melambangkan bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan derajat
(fitrah) yang sama, yang membedakannya adalah ketakwaan dan tingkah lakunya.
Sayuran dan
urab-uraban: Urap sayuran merupakan jenis menu yang umum dipilih yang dapat
mewakili tumbuhan darat. Jenis sayurnya tidak dipilih begitu saja karena tiap
sayur juga mengandung perlambang tertentu. Sayuran yang harus ada adalah:
Ø Kangkung:
Sayur ini bisa tumbuh di air dan di darat, begitu juga yang diharapkan pada
manusia yang harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi apa pun.
Kangkung juga berarti ‘jinangkung’ yang artinya melindungi.
Ø Bayam: Bayam
mempunyai warna hijau muda yang menyejukkan dan bentuk daunnya sederhana tidak
banyak lekukan. Sayur ini melambangkan kehidupan yang ayem tenterem (aman dan
damai), tidak banyak konflik seperti sederhananya bentuk daun dan sejuknya
warna hijau pada sayur bayam.
Ø Taoge: Taoge
muncul keluar dari biji kacang hijau. Di dalam sayur kecil ini terkandung makna
kreativitas tinggi. Seseorang yang selalu memunculkan ide-ide baru adalah
seseorang yang kreativitasnya tinggi dan bisa berhasil dalam hidupnya. Taoge
juga jenis sayuran yang sangat mudah dihasilkan. Ini mengandung pengharapan
bahwa manusia dapat terus tumbuh dan berkembang, mempunyai anak cucu.
Ø Kacang
Panjang: Kacang panjang harus hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya agar
manusia hendaknya selalu berpikir panjang sebelum bertindak. Selain itu kacang
panjang juga melambangkan umur panjang. Kacang panjang utuh umumnya tidak
dibuat hidangan, tetapi hadir sebagai hiasan yang mengelilingi tumpeng atau
ditempelkan pada badan kerucut.
Ø Bawang merah
(brambang): melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dari sisi baik
buruknya dengan matang.
Ø Cabe merah:
biasanya diletakkan di ujung tumpeng. Ini merupakan simbol dilah/api yang
memberikan penerangan/tauladan yang akan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang
lain.
Ø Kluwih:
berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding yang lainnya.
Ø Bumbu urap
yang berarti urip/hidup atau mampu menghidupi dan menafkahi keluarga.
Dari
berbagai penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa pemilihan bentuk dan lauk
pauk pelengkap tumpeng bukan sekedar kebetulan atau tanpa alasan. Dasar dasar
pemilihannya sangat erat kaitannya dengan hubungan dan pengertian manusia akan
alam. Bahkan dari observasi sederhana yang jauh dari penjelasan ilmiah, manusia
bisa belajar banyak hal dari alam. Hal ini dinyatakan jelas oleh tumpeng.
Setiap kali tumpeng hadir dalam sebuah acara, kita akan diingatkan kembali akan
hubungan kita dengan alam dan pelajaran hidup yang kita peroleh dari alam.
Hubungannya
dengan Sosial Kemasyarakatan
Puncak
sebuah upacara dimana terdapat tumpeng didalamnya ditandai dengan pemotongan
bagian teratas atau terlancip kerucut nasi tumpeng tersebut. Pemotongan ini
biasanya dilakukan oleh orang yang paling dituakan atau dihormati di komunitas
dimana upacara itu dilaksanakan. Ini menyiratkan bahwa masyarakat Jawa adalah
masyarakat yang masih memegang teguh nilai nilai kekeluargaan dan memandang
orang tua sebagai figur yang sangat dihormati.
Hal ini
tercermin dalam ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang mengandung nasihat
kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik. Anak di sini bisa
diartikan sebagai anak keturunan, generasi muda atau bawahan, sedangkan orang
tua bisa diartikan orang tua dalam hubungan darah, orang yang usianya lebih
tua, para pendahulu yang pernah berjasa, para pemimpin atau atasan. Mikul
dhuwur (memikul tinggi) memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan
mendhem jero (menanam dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau
penghargaan yang mendalam terhadap seseorang (Suratno dan Astiyanto, 2009).
Hal ini
terwujud ketika orang yang dituakan memotong ujung kerucut tumpeng dan semua
yang hadir memperhatikan dan mengikuti dengan seksama. Ujung kerucut nasi
tumpeng adalah bagian yang paling penting dari tumpeng dan diperuntukkan khusus
untuk orang yang dituakan sebagai tanda hormat dan bakti. Setelah bagian itu
dipotong, barulah yang lain menikmati bagian tang tersisa dari nasi tumpeng tersebut
(bagian bawah kerucut).
Dalam
tradisi awalnya, upacara dalam adat Jawa merupakan upacara yang melibatkan
seluruh desa atau kampung. Begitu mengetahui tetangganya mengadakan upacara
syukuran atau selamatan, sanak saudara, kenalan dan orang yang tinggal sekitar
tempat acara syukuran diadakan akan datang menawarkan bantuan tanpa diminta.
Mereka terlibat langsung mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya acara
tersebut. Dengan demikian, seluruh komponen upacara tersebut adalah atas hasil
usaha bersama.
Hal ini
merupakan hal yang lazim terjadi dalam hubungan kemasyarakatan orang Jawa yang
menjunjung tinggi asas gotong royong. Ada ungkapan Jawa yang berbunyi urip
tulung tinulung(Suratno dan Astiyanto, 2009) yang berarti bahwa dalam hidup,
orang harus saling tolong menolong. Ajaran ini berangkat dari pandangan bahwa
seseorang tidak mungkin hidup seorang diri. Sudah merupakan kodrat seorang
manusia yang membutuhkan orang lain. Oleh karena itu kita harus hidup saling
tolong menolong.
Hal ini
berhubungan dengan ungkapan lain, yaitu nandur kebecikan, males budi (menanam
kebaikan membalas budi). Konsep nandur kebecikan merupakan peringatan agar
seseorang tidak bersikap individualis atau sombong. Pengertian ungkapan ini
juga mengandung ajaran filosofis bahwa orang yang menanam pasti akan memetik
hasilnya. Bila menanam kebaikan, pasti akan memetik kebaikan pula (baik di
dunia ataupun di akhirat). Keyakinan ini membuahkan sikap murah hati untuk
berbuat baik terhadap orang lain. Bila kita menerima kebaikan dari orang lain,
hendaknyalah kita males budi atau membalas budi sehingga jangan sampai kita
hidup dengan berhutang jasa atau kebaikan terhadap orang lain. Nilai nandur
kebecikan, males budi yang tertanam dalam masyarakat akan menciptakan hubungan
social kemasyaratkan yang sangat harmonis yang salah satunya diwujudkan dalam
sikap gotong royong dalam mempersiapkan dan menjalankan sebuah upacara syukuran
atau selamatan.
Ada sesanti
jawi yang tidak asing bagi kita, yaitu: mangan oran mangan waton kumpul (makan
tidak makan yang penting kumpul). Hal ini tidak berarti meski serba kekurangan
yang penting tetap berkumpul dengan sanak saudara, namun harus selalu
mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan orangtua
terhadap anaknya, serta kecintaan terhadap keluarga. Dimana pun kita berada,
meskipun harus merantau, maka harus tetap mengingat kepada keluarganya dan
menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudara.
Sumber:
http://mengenalbudayajawa.blogspot.com
http://mengenalbudayajawa.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar