Kamis, 29 Desember 2016

Filosofi Candi Borobudur



Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di Kamboja. Borobudur mirip bangunan piramida Cheops di Gizeh Mesir. Dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa. Namun berbeda dengan piramida raksasa Mesir dan Piramida Teotihuacan Meksiko, piramida Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak ditemukan di daerah dan negara manapun, termasuk di India. Inilah salah satu kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Buddhis di Indonesia.
Mengenai landasan falsafah dan agamanya ditemukan oleh Stutterheim dan NJ. Krom, yakni tentang ajaran Buddha Dharma dengan aliran Mahayana-Yogacara dan ada kecenderungan pula bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana. Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria, Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja.
Sejarah asal nama Borobudur sendiri, beberapa ahli purbakala mengungkapkan versi berbeda. Menurut Prof. Dr. Poerbotjoroko, Borobudur berasal kata Bhoro dan Budur. “Bhoro” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti kompleks “candi, bihara atau asrama,” sedangkan kata “budur” merujuk pada bahasa Bali, “beduhur” yang berarti “di atas.” Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr. WF. Stutterheim yang berpendapat bahwa Borobudur berarti “bihara di atas sebuah bukit.” Sedangkan menurut Casparis, berdasarkan prasasti Karang Tengah, Borobudur berasal dari BhūmiSambhāraBhudhāra yang dalam bahasa sansekerta berarti “Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa.
Monumen ini terdiri dari enam platform persegi atasnya oleh tiga platform sirkular, dan dihiasi dengan 2.672 panel relief dan 504 patung Buddha. Kemegahan Candi Borobudur tidak hanya menunjukkan kemampuan rancang bangunan nenek moyang bangsa Indonesia yang luar biasa. Penempatan stupa terawang maupun relief di dinding Borobudur ternyata menunjukkan penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan atau astronomi.
Stupa utama candi Buddha terbesar di dunia itu berfungsi sebagai gnomon (alat penanda waktu) yang memanfaatkan sinar matahari. Stupa utama yang merupakan stupa terbesar terletak di pusat candi di tingkat 10 (tertinggi). Stupa utama dikelilingi 72 stupa terawang yang membentuk lintasan lingkaran di tingkat 7, 8 dan 9. Bentuk dasar ketiga tingkat itu plus tingkat 10 adalah lingkaran, bukan persegi empat sama sisi seperti bentuk dasar pada tingkat 1 hingga tingkat 6. Jumlah stupa terawang pada tingkat 7,8 dan 9 secara berurutan adalah 32 stupa, 24 stupa, dan 16 stupa. Jatuhnya bayangan stupa utama pada puncak stupa terawang tertentu pada tingkatan tertentu menunjukkan awal musim atau mangsa tertentu sesuai Pranatamangsa (sistem perhitungan musim Jawa).
Struktur Bangunan Candi Borobudur
Bangunan candi Borobudur berbentuk limas berpundak dan apabila dilihat dari atas merupakan bujur sangkar. Bangunan candi terdiri dari 10 tingkat. Tiga tingkat yang paling atas berbentuk lingkaran dengan tiga teras. Teras pertama terdapat 32 stupa berlubang, teras kedua terdapat 24 stupa berlubang, teras ketiga terdapat 16 stupa berlubang. Jumlah keseluruhan 72 stupa berlubang dan masing-masing stupa didalamnya terdapat patung Buddha. Di tengah stupa-stupa tersebut terdapat stupa induk yang merupakan mahkota dari bangunan candi Borobudur.
Struktur dari candi Borobudur merupakan deskripsi dari perjalanan kehidupan manusia dan kaitannya dengan alam semesta yang diyakini oleh warga Buddha Mahayana, yaitu Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu.
·      Kamadhatu merupakan alam bawah atau dunia hasrat dan hawa nafsu; Dunia Kamadhatu menunjukkan bahwa manusia terikat pada hasrat dan hawa nafsu, serta cenderung terpengaruh dan dikuasai oleh hawa nafsu. Gambaran dan deskripsi alam kamadhatu secara jelas dalam bentuk relief-relief yang terdapat pada kaki candi asli yang melambangkan adegan Karmawibhangga, yang melukiskan hukum sebab akibat.
·      Rupadhatu merupakan alam antara atau dunia rupa. Dunia Rupadhatu menggambarkan bahwa manusia telah meninggalkan segala urusan duniawi dengan meninggalkan hawa nafsu dan segala urusan duniawi. Gambaran tahapan ini dilambangkan dengan bentuk lorong penghubung antara tingkat satu sampai tingkat empat.
·      Arupadhatu merupakan alam atas atau dunia tanpa rupa. Dunia Arupadhatu merupakan gambaran tentang tempat bersemayamnya para Dewa. Gambaran tahapan ini dilambangkan dengan teras bundar di tingkat satu, dua dan tiga, serta kehadiran stupa induk pada tingkat tertinggi.
Tingkatan tertinggi ini dilambangkan dengan stupa yang terbesar dan tertinggi, stupa polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan arca Buddha belum selesai (unfinished Buddha), yang semula disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha, padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung pada stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam pembuatannya tidak boleh dirusak.
Relief-relief yang terpahat di setiap tingkatan ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, bergerak searah jarum jam, dimulai dari sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang yang terletak di bagian timur. Sedangkan relief-relief candi yang berjumlah total 1.460 pigura, secara berurutan menceritakan makna filosofi sebagai berikut:
·      Karmawibhangga, sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, menggambarkan hukum karma. Pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita terpisah yang mempunyai korelasi sebab akibat. Secara keseluruhan relief sejumlah 160 pigura ini menggambarkan kehidupan manusia dalam lingkaran lahir-hidup-mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
·      Lalitawista, menggambarkan riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang berarti “hukum” dengan lambang roda.
·      Jataka dan Awadana. Jataka menceritakan tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain, sebagai tahapan persiapan menuju ketingkat ke-Budha-an. Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana (perbuatan mulia kedewaan), dan kitab Awadanasataka (100 cerita Awadana). Pada relief candi Borobudur, jataka dan awadana sejumlah 720 pigura yang tersebar di tingkat 1 dan 2, terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala (untaian cerita Jataka), karya penyair Aryasura (abad 4 M).
·      Gandawyuha, deretan relief di dinding lorong ke-2, adalah cerita tentang pengembaraan Sudhana dalam mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar