Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah
Candi Ankor Wat di Kamboja. Borobudur mirip bangunan piramida Cheops di Gizeh
Mesir. Dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak
atau semacam piramida dan sebuah stupa. Namun berbeda dengan piramida raksasa
Mesir dan Piramida Teotihuacan Meksiko, piramida Borobudur berupa kepunden
berundak yang tidak ditemukan di daerah dan negara manapun, termasuk di India.
Inilah salah satu kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur
Buddhis di Indonesia.
Mengenai landasan falsafah dan agamanya ditemukan oleh
Stutterheim dan NJ. Krom, yakni tentang ajaran Buddha Dharma dengan aliran
Mahayana-Yogacara dan ada kecenderungan pula bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana.
Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria, Robert von Heine
Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada zaman
Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja.
Sejarah asal
nama Borobudur sendiri, beberapa ahli purbakala mengungkapkan versi berbeda.
Menurut Prof. Dr. Poerbotjoroko, Borobudur berasal kata Bhoro dan Budur.
“Bhoro” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti kompleks “candi, bihara
atau asrama,” sedangkan kata “budur” merujuk pada bahasa Bali, “beduhur”
yang berarti “di atas.” Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr. WF. Stutterheim
yang berpendapat bahwa Borobudur berarti “bihara di atas sebuah bukit.”
Sedangkan menurut Casparis, berdasarkan prasasti Karang Tengah, Borobudur
berasal dari BhūmiSambhāraBhudhāra yang dalam bahasa sansekerta berarti
“Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa.”
Monumen
ini terdiri dari enam platform persegi atasnya oleh tiga platform sirkular, dan
dihiasi dengan 2.672 panel relief dan 504 patung Buddha. Kemegahan Candi
Borobudur tidak hanya menunjukkan kemampuan rancang bangunan nenek moyang
bangsa Indonesia yang luar biasa. Penempatan stupa terawang maupun relief di
dinding Borobudur ternyata menunjukkan penguasaan mereka terhadap ilmu
perbintangan atau astronomi.
Stupa utama candi Buddha
terbesar di dunia itu berfungsi sebagai gnomon (alat penanda waktu) yang
memanfaatkan sinar matahari. Stupa utama yang merupakan stupa terbesar terletak
di pusat candi di tingkat 10 (tertinggi). Stupa utama dikelilingi 72 stupa
terawang yang membentuk lintasan lingkaran di tingkat 7, 8 dan 9. Bentuk dasar
ketiga tingkat itu plus tingkat 10 adalah lingkaran, bukan persegi empat sama
sisi seperti bentuk dasar pada tingkat 1 hingga tingkat 6. Jumlah stupa
terawang pada tingkat 7,8 dan 9 secara berurutan adalah 32 stupa, 24 stupa, dan
16 stupa. Jatuhnya bayangan stupa utama pada puncak stupa terawang tertentu
pada tingkatan tertentu menunjukkan awal musim atau mangsa tertentu sesuai Pranatamangsa
(sistem perhitungan musim Jawa).
Struktur Bangunan Candi Borobudur
Bangunan candi Borobudur
berbentuk limas berpundak dan apabila dilihat dari atas merupakan bujur
sangkar. Bangunan candi terdiri dari 10 tingkat. Tiga tingkat yang paling atas
berbentuk lingkaran dengan tiga teras. Teras pertama terdapat 32 stupa
berlubang, teras kedua terdapat 24 stupa berlubang, teras ketiga terdapat 16
stupa berlubang. Jumlah keseluruhan 72 stupa berlubang dan masing-masing stupa
didalamnya terdapat patung Buddha. Di tengah stupa-stupa tersebut terdapat
stupa induk yang merupakan mahkota dari bangunan candi Borobudur.
Struktur dari candi
Borobudur merupakan deskripsi dari perjalanan kehidupan manusia dan kaitannya
dengan alam semesta yang diyakini oleh warga Buddha Mahayana, yaitu Kamadhatu,
Rupadhatu dan Arupadhatu.
·
Kamadhatu
merupakan alam bawah atau dunia hasrat dan hawa nafsu; Dunia Kamadhatu
menunjukkan bahwa manusia terikat pada hasrat dan hawa nafsu, serta cenderung
terpengaruh dan dikuasai oleh hawa nafsu. Gambaran dan deskripsi alam kamadhatu
secara jelas dalam bentuk relief-relief yang terdapat pada kaki candi asli yang
melambangkan adegan Karmawibhangga, yang melukiskan hukum sebab akibat.
·
Rupadhatu
merupakan alam antara atau dunia rupa. Dunia Rupadhatu menggambarkan bahwa
manusia telah meninggalkan segala urusan duniawi dengan meninggalkan hawa nafsu
dan segala urusan duniawi. Gambaran tahapan ini dilambangkan dengan bentuk
lorong penghubung antara tingkat satu sampai tingkat empat.
·
Arupadhatu merupakan
alam atas atau dunia tanpa rupa. Dunia Arupadhatu merupakan gambaran tentang
tempat bersemayamnya para Dewa. Gambaran tahapan ini dilambangkan dengan teras
bundar di tingkat satu, dua dan tiga, serta kehadiran stupa induk pada tingkat
tertinggi.
Tingkatan tertinggi ini dilambangkan dengan stupa
yang terbesar dan tertinggi, stupa polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa
terbesar ini pernah ditemukan arca Buddha belum selesai (unfinished Buddha),
yang semula disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha, padahal melalui
penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung pada stupa utama, patung yang
tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut
kepercayaan patung yang salah dalam pembuatannya tidak boleh dirusak.
Relief-relief yang terpahat di setiap tingkatan
ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam
bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang
artinya ialah timur. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan
berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, bergerak searah
jarum jam, dimulai dari sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu
gerbang yang terletak di bagian timur. Sedangkan relief-relief candi yang berjumlah
total 1.460 pigura, secara berurutan menceritakan makna filosofi sebagai
berikut:
· Karmawibhangga, sesuai dengan makna simbolis pada kaki
candi, menggambarkan hukum karma. Pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita
terpisah yang mempunyai korelasi sebab akibat. Secara keseluruhan relief
sejumlah 160 pigura ini menggambarkan kehidupan manusia dalam lingkaran
lahir-hidup-mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha
rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
· Lalitawista, menggambarkan riwayat Sang Buddha dalam
deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang
dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan
wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief tersebut
menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha,
putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief
berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara
simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut
dharma yang berarti “hukum” dengan lambang roda.
· Jataka dan Awadana. Jataka menceritakan
tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya
merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa
dari makhluk lain, sebagai tahapan persiapan menuju ketingkat ke-Budha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi
bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun
dalam kitab Diwyawadana (perbuatan mulia kedewaan), dan kitab Awadanasataka
(100 cerita Awadana). Pada relief candi Borobudur, jataka dan awadana
sejumlah 720 pigura yang tersebar di tingkat 1 dan 2, terdapat dalam deretan
yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang
Bodhisattwa adalah Jatakamala (untaian cerita Jataka), karya penyair
Aryasura (abad 4 M).
· Gandawyuha, deretan relief di dinding lorong ke-2,
adalah cerita tentang pengembaraan Sudhana dalam mencari Pengetahuan Tertinggi
tentang Kebenaran Sejati. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada
kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian
penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar