Urang
Kanekes, Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat
adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten
Lebak, Banten.
Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah
satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar.
Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto,
khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.
Sebutan
"Baduy" berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang
agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang
merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah
karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari
wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka,
atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang
Cibeo (Garna, 1993).
Mereka
bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari
kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng
dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai
topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai
45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian
tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C.
Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik,
Cikertawana, dan Cibeo.
Bahasa
yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten.
Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa
Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah.
Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat,
kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan
lisan saja. Orang
Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan
adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun
fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak
era Suharto
pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan
membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih
menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak
dapat membaca atau menulis.
Kelompok Masyarakat
Orang Kanekes memiliki
hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka
mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah
kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh
dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional,
sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk
Islam.
Masyarakat Kanekes secara
umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka
(Permana, 2001).
1.
Kelompok Tangtu
Kelompok tangtu adalah kelompok
yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat
mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana,
dan Cikeusik. Ciri-ciri khas orang kanekes dalam yaitu:
a.
Pakaiannya berwarna putih alami
dan biru tua (warna tarum)
b.
Memakai ikat kepala putih
c.
Mereka dilarang secara adat untuk
bertemu dengan orang asing
Kanekes Dalam adalah bagian dari
keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam
masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka. Sebagian peraturan yang
dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
Ø
Tidak diperkenankan
menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
Ø
Tidak diperkenankan
menggunakan alas kaki
Ø
Pintu rumah harus menghadap
ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
Ø
Larangan menggunakan alat
elektronik (teknologi)
Ø
Menggunakan kain berwarna
hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak
diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
2.
Kelompok Panamping
Kelompok panamping adalah mereka
yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di
berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti
Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Kanekes
Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes
Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke
Kanekes Luar:
Ø
Mereka telah melanggar adat
masyarakat Kanekes Dalam.
Ø
Berkeinginan untuk keluar
dari Kanekes Dalam
Ø
Menikah dengan anggota
Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar, yaitu:
a.
Mengenakan pakaian dan ikat kepala
berwarna biru gelap (warna tarum).
b.
Mereka telah mengenal teknologi,
seperti peralatan elektronik.
c.
Proses pembangunan rumah penduduk
Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku,
dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
d.
Menggunakan pakaian adat dengan
warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak
suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
e.
Menggunakan peralatan rumah tangga
modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
f.
Mereka tinggal di luar wilayah
Kanekes Dalam.
g.
Sebagian di antara mereka telah
terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup
signifikan.
3.
Kelompok Dangka
Kelompok Kanekes Dangka tinggal di luar
wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu
Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut
berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.
Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat
Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan,
ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun
atau arwah leluhur
dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme).
Meskipun sebagian besar aspek ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun,
pada perkembangan selanjutnya ajaran leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh
beberapa aspek ajaran Hindu, Buddha, dan di kemudian hari ajaran Islam.
Bentuk penghormatan kepada
roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan alam;
yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air,
sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan
setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan
sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Inti kepercayaan
tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang
dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting
dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan
apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang
dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong,
pendek tidak bisa/tidak boleh disambung).
Tabu tersebut dalam
kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian,
bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang,
sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering,
hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan.
Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga
tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan
tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang
mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan
terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas,
yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes
mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan
Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un
atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang
mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat
batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan
batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi
masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan
banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering
atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan,
berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat
adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara
umum sebelum masuknya Islam.
Pemerintahan
Masyarakat Kanekes
mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan
negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya
masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin
oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah
camat,
sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu
"Pu'un".
Pemimpin adat tertinggi
dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu.
Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke
anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un
tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan
tersebut.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama
masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma.
Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual
buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian
dan asam keranji,
serta madu
hutan.
Interaksi Dengan Masyarakat Luar
Masyarakat Kanekes yang
sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat
terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia
luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis
memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran
mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes
secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten
(Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan
setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan)
kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak.
Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat
luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada
waktu yang lampau dilakukan secara barter,
sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah
biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren
melalui para tengkulak.
Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar.
Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya,
Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar
yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang
per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga
para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut,
bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti
adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak
boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di
sungai. Namun, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI).
Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di
ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar
sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka
pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke
rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil
kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan
uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar