1. Aliran Materialisme
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan
rohani, bukan spiritual, atau supranatural.
Filsafat materialisme memandang bahwa materi lebih dahulu ada sedangkan
ide atau pikiran timbul setelah melihat materi. Dengan kata lain materialisme
mengakui bahwa materi menentukan ide, bukan ide menentukan materi. Contoh:
karena meja atau kursi secara objektif ada, maka orang berpikir tentang meja
dan kursi. Bisakah seseorang memikirkan meja atau kursi sebelum benda yang
berbentuk meja dan kursi belum atau tidak ada.
2. Sejarah Lahirnya Aliran Filsafat Materialisme
Demokritos beserta pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu
terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat dbagi-bagi lagi (yang disebut
atom-atom). Atom-atom merupakan bagian dari yang terkecil sehingga mata kita
tidak dapat melihatnya.
Randal, et.al,1942, dalam Sadulloh (2003:113), bahwa karakteristik umum
materialisme pada abad delapan belas berdasarkan pada suatu asumsi bahwa
realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan
gerak dalam ruang. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa:
a. Semua sains seperti biologi, kimia, fisika, psikologi, sosiologi,
ekonomi, dan yang lainnya ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan
secara kausal (sebab akibat, jadi semua sains merupakan cabang dari sans
mekanika.
b. Apa yang dikatakan “jiwa” dan segala kegiatannya (berpikir, memahami)
adalah merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak, sistem urat syaraf,
atau organ-organ jasmani yang lainnya.
c. Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita, makna dan tujuan hidup,
keindahan dan kesenangan, serta kebebasan, hanyalah sekedar nama-nama atau
semboyang.
Menurut aliran realisme, kepercayaan kepada tuhan hanyalah merupakan
suatu proyeksi dari kegagalan atau ketidakpuasan manusia untuk mencapai
cita-cita kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan kegagalan tersebut manusia
memikirkan suatu wujud diluar dirinya yang dikhayalkannya memiliki kesempurnaan
, yang merupakan sumber kehidupan manusi, suatu wujud yang bahagia secara
absolut. Oleh karena itu, than hanyalah merupakan hasil khayalan manusi. Tuhan
diciptakan oleh manusia sendiri, secara maya padahal wujudnya tidak ada.
Cabang materialisme yang banyak diperhatikan orang dewasa ini, dijadikan
sebagai landasan berpikir adalah “positivisme”. Menurut positivisme, kalau
sesuatu itu memang ada. Maka adanya itu adalah jumlahnya. Dan jumlah itu dapat
diukur.
Menurut Comte dalam Sadulloh (2003:114), terdapat tiga perkembangan
berpikir yang dialami manusia yaitu:
a. Tingkatan teologis,
Dalam hal ini pola berpikir manusia dikuasai oleh tahayul dan prasangka
b. Tingkatan metafisik,
Pada tingkatan ini, pola berpikir manusia telah meninggalkan teologis,
namun masih berpikir abstrak, masih mempersoalkan hakikat dari segala yang ada,
termask hakikat yang gaib juga.
c. Tingkatan positif,
d. Dalam hal ini, tingatan berpikir yang mendasarkan pada sains, dimana
pandangan dgmatis dan spekulatif metafisik diganti oleh pengetahuan faktual.
Harun Hadiwijono, 1980 dalam Sadulloh (2003:115) zaman positif adalah
zaman dimana orang tahu, bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai
pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologi maupun pengenalan metafisik.
Jadi, dikatakan positivisme, karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita
pelajari hanyalah yang berdasarkan fakta-fakta, berdasarkan data-data yang
nyata yaitu mereka namakan positif. Apa yang kita ketahui hanyalah yang nampak
saja. Di luar itu manusia tidak perlu mengetahuinya. Positivisme membatasi
studinya hanya pada bidang gejala-gejala.
Selanjutnya dapat kita simak pandangan Tohmas Hobbes. Sebagai penganut
empiris materialime, ia berpendapat bahwa pengalaman merupakan awal dari segala
pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan
dikokohkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah yang memberikan kepastian.
Pengetahuan melalui akal hanya memiliki fungsi mekanis semata, sebab
pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan.
(Harun Hadiwijono, 1980 dalam Sadulloh (2003:115)).
3. Ciri-ciri filsafat
materialisme
a. Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber
yaitu materi
b. Tidak meyakini adanya alam ghaib
c. Menjadikan panca-indera sebagai satu-satunya
alat mencapai ilmu
d. Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam
peletakkan hukum
e. Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia
sebagai akhlaq
4. Variasi aliran filsafat
materialisme
Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan
materialisme metafisik.
a. Filsafat Materialisme Dialektika
Materialisme dialektika adalah materialisme yang
memandang segala sesuatu selalu berkembang sesuai dengan hukum-hukum
dialektika: hukum saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku
secara objektif didalam dunia semesta. Pikiran-pikiran materialisme dialekti
inipun dapat kita jumpai dalam kehidupan misalnya, “bumi berputar terus, ada
siang ada malam”, “habis gelap timbullah terang”, “patah tumbuh hilang
berganti” dsb. Semua pikiran ini menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan kita
senantiasa berkembang.
b. Filsafat Materialisme Metafisik
Materialisme metafisik, yang memandang dunia
secara sepotong-sepotong atau dikotak-kotak, tidak menyeluruh dan statis.
Pikiran-pikiran materialisme metafisik ini misalnya: “sekali maling tetap
maling”, memandang orang sudah ditakdirkan, tidak bisa berubah.
Sumber: Sadulloh, uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung.
Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar