Rabu, 21 Desember 2016

Aliran Filsafat Pendidikan - Materialisme



1.    Aliran Materialisme
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan spiritual, atau supranatural.
Filsafat materialisme memandang bahwa materi lebih dahulu ada sedangkan ide atau pikiran timbul setelah melihat materi. Dengan kata lain materialisme mengakui bahwa materi menentukan ide, bukan ide menentukan materi. Contoh: karena meja atau kursi secara objektif ada, maka orang berpikir tentang meja dan kursi. Bisakah seseorang memikirkan meja atau kursi sebelum benda yang berbentuk meja dan kursi belum atau tidak ada.
2.    Sejarah Lahirnya Aliran Filsafat Materialisme
Demokritos beserta pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat dbagi-bagi lagi (yang disebut atom-atom). Atom-atom merupakan bagian dari yang terkecil sehingga mata kita tidak dapat melihatnya.
Randal, et.al,1942, dalam Sadulloh (2003:113), bahwa karakteristik umum materialisme pada abad delapan belas berdasarkan pada suatu asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan gerak dalam ruang. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa:
a.    Semua sains seperti biologi, kimia, fisika, psikologi, sosiologi, ekonomi, dan yang lainnya ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat, jadi semua sains merupakan cabang dari sans mekanika.
b.    Apa yang dikatakan “jiwa” dan segala kegiatannya (berpikir, memahami) adalah merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak, sistem urat syaraf, atau organ-organ jasmani yang lainnya.
c.    Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita, makna dan tujuan hidup, keindahan dan kesenangan, serta kebebasan, hanyalah sekedar nama-nama atau semboyang.
Menurut aliran realisme, kepercayaan kepada tuhan hanyalah merupakan suatu proyeksi dari kegagalan atau ketidakpuasan manusia untuk mencapai cita-cita kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan kegagalan tersebut manusia memikirkan suatu wujud diluar dirinya yang dikhayalkannya memiliki kesempurnaan , yang merupakan sumber kehidupan manusi, suatu wujud yang bahagia  secara absolut. Oleh karena itu, than hanyalah merupakan hasil khayalan manusi. Tuhan diciptakan oleh manusia sendiri, secara maya padahal wujudnya tidak ada.
Cabang materialisme yang banyak diperhatikan orang dewasa ini, dijadikan sebagai landasan berpikir adalah “positivisme”. Menurut positivisme, kalau sesuatu itu memang ada. Maka adanya itu adalah jumlahnya. Dan jumlah itu dapat diukur.
Menurut Comte dalam Sadulloh (2003:114), terdapat tiga perkembangan berpikir yang dialami manusia yaitu:
a.    Tingkatan teologis,
Dalam hal ini pola berpikir manusia dikuasai oleh tahayul dan prasangka
b.    Tingkatan metafisik,
Pada tingkatan ini, pola berpikir manusia telah meninggalkan teologis, namun masih berpikir abstrak, masih mempersoalkan hakikat dari segala yang ada, termask hakikat yang gaib juga.
c.    Tingkatan positif,
d.   Dalam hal ini, tingatan berpikir yang mendasarkan pada sains, dimana pandangan dgmatis dan spekulatif metafisik diganti oleh pengetahuan faktual.
Harun Hadiwijono, 1980 dalam Sadulloh (2003:115) zaman positif adalah zaman dimana orang tahu, bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologi maupun pengenalan metafisik. Jadi, dikatakan positivisme, karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita pelajari hanyalah yang berdasarkan fakta-fakta, berdasarkan data-data yang nyata yaitu mereka namakan positif. Apa yang kita ketahui hanyalah yang nampak saja. Di luar itu manusia tidak perlu mengetahuinya. Positivisme membatasi studinya hanya pada bidang gejala-gejala.
Selanjutnya dapat kita simak pandangan Tohmas Hobbes. Sebagai penganut empiris materialime, ia berpendapat bahwa pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan dikokohkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah yang memberikan kepastian. Pengetahuan melalui akal hanya memiliki  fungsi mekanis semata, sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. (Harun Hadiwijono, 1980 dalam Sadulloh (2003:115)).
3.    Ciri-ciri filsafat materialisme
a.    Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi
b.    Tidak meyakini adanya alam ghaib
c.    Menjadikan panca-indera sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu
d.   Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakkan hukum
e.    Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlaq
4.    Variasi aliran filsafat materialisme
Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme metafisik.
a.    Filsafat Materialisme Dialektika
Materialisme dialektika adalah materialisme yang memandang segala sesuatu selalu berkembang sesuai dengan hukum-hukum dialektika: hukum saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku secara objektif didalam dunia semesta. Pikiran-pikiran materialisme dialekti inipun dapat kita jumpai dalam kehidupan misalnya, “bumi berputar terus, ada siang ada malam”, “habis gelap timbullah terang”, “patah tumbuh hilang berganti” dsb. Semua pikiran ini menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan kita senantiasa berkembang.
b.    Filsafat Materialisme Metafisik
Materialisme metafisik, yang memandang dunia secara sepotong-sepotong atau dikotak-kotak, tidak menyeluruh dan statis. Pikiran-pikiran materialisme metafisik ini misalnya: “sekali maling tetap maling”, memandang orang sudah ditakdirkan, tidak bisa berubah.

Sumber: Sadulloh, uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung. Alfabeta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar